Pengertian Foto Jurnalistik
Terdapat beberapa pengertian mengenai fotografi jurnalistik yang
dikemukakan oleh para ahli fotografi. Menurut Hanapi yang dimaksud
dengan fotografi jurnalistik yaitu kegiatan fotografi yang bertujuan
merekam jurnal peristiwa-peristiwa yang menyangkut manusia. Wilson Hick
dalam bukunya Word and Picture memberi batasan fotografi
jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir
bersamaan. Sedangkan Soelarko mendefinisikan foto jurnalistik sebagai
foto berita atau bisa juga disebut sebagai sebuah berita yang disajikan
dalam bentuk foto. Sementara itu Oscar Motuloh, fotografer senior Biro
Foto LKBN Antara Jakarta menyebut foto jurnalistik adalah
medium sajian untuk menyampaikan baragam bukti visual atas suatu
peristiwa pada suatu masyarakt seluas-luasnya, bahkan hingga kerak
dibalik peristiwa tersebut, tentu dalam waktu yang sesungkat-singkatnya.
Dilihat dari beberapa pengertian yang ada maka foto jurnalistik dapat
disebut sebagai suatu sajian dalam bentuk foto akan sebuah peristiwa
yang terjadi, di mana peristiea tersebut berkaitan dendan apek kehidupan
manusia dan disampaikan guna kepentingan manusia itu sendiri.
Kepentingan manusia dalam hal ini berupa kebutuhan akan informasi atau
juga beita yang terjadi di seluruh belahan bumi ini.
Syarat umum untuk membuat foto berita dengan baik adalah:
- Memiliki pengetahuan konspesional;mempersoalkan isi (picture content, news content)
- Memiliki keterampilan teknis: mempersoalkan penyajian teknis yang matang secara fotografi.
Foto-foto yang dimuat dalam surat kabar memang tidak selalu menggambarkan suatu peristiwa atau berita (
newsphoto),
melainkan bisa juga bersifat ilustratif, yaitu bisa berdiri sendiri
atau menyertai suatu artikel, termasuk di dalamnya adalah foto-foto yang
bersifat ‘
human interest’ (menarik perhatian dan membangkitkan
kesan). Foto-foto yang dimuat dalam surat kabar itu secara ‘salah
kaprah’ biasa disebut sebagai foto jurnalistik, artinya foto yang
dihasilkan oleh kerja jurnalis (wartawan) di lapangan.
Suatu foto memang tidak bisa melukiskan keterangan-keterangan verbal
yang diperoleh wartawan di lapangan, tapi dengan kemampuan visualisasi
yang disuguhkan, sebuah foto bisa mengungkapkan pandangan mata yang
sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Berbeda dengan berita tulis di
mana wartawan bisa secara tidak sengaja memasukkan subjektivitas yang
bisa memengaruhi opini. Dengan foto akan memperkecil subjektivitas
tersebut.Kepada pembaca disuguhkan secara visual apa adanya. Pembaca
akan memberi penafsiran terhadap foto tersebut; yang tentu saja satu
dengan lainnya bisa berbeda. Maka tidaklah salah ungkapan “
one picture is worth one thousand words”
- Sekilas sejarah Foto Jurnalistik
Sudah sejak lama, setelah media massa cetak yang berbentuk suratkabar
muncul, orang memimpikan bagaimana bisa melihat peristiwa/kejadian
secara visual lewat lembaran kertas itu. Harapan itu menggebu teruatama
setelah fotografi ditemukan tahun 1839 yaitu ketika
Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis pada 19 Agustus mengumumkan penemuan alat gambar sinar oleh seniman
Louis Jacques Daguerre.
Alat temuan Daguerre itu masih sederhana berupa sebuah kotak diberi
lensa dan dibelakang diberi plat logam yang sudah dilabur dengan bahan
kimia tertentu. Alat itu disebut
‘camera obscura’ atau kamar gelap, yang kemudian secara umum disebut kamera.
Orang pun masih kesulitan memerolah jalan atau cara bagaimana
memindahkan gambar yang dibuat oleh kamera Daguerrotype itu ke dalam
surat kabar.
Setelah direkayasa maka muncullah jurnalistik foto pertama kali yaitu ketika
“The Illustrated London News” untuk pertama kalinya 30 Mei 1842 memuat
spotnews atau gambar lukisan (hasil cukilan kayu) yang merupakan reproduksi sebuah foto yang dihasilkan oleh kamera
daguerrotype. Gambar tersebut merupakan
spotnews
atau peristiwa langsung yang menggambarkan saat terjadi pembunuhan
(penembakan) dengan pistol atas diri Ratu Victoria di dalam keretanya.
Dalam sejarah tercatat dua wartawan foto perintis yang sangat
terkenal, yaitu Roger Fenton (Inggris) yang meliput Perang Krim
(1853-1856) dan Mattew Brady (AS) yang meliput
American Civil War (perang Abolisi) tahun 1861-1865. Brady membawa peralatan lengkap ke garis depan. Perlenggkapan itu dimuat dalam satu
wagon (kereta kuda) sendiri, di mana di dalamnya terdapat laboratorium dan kamar gelapnya.
Karena belum ditemukannya cara membuat nada warna abu-abu atau ’
halftones’ dalam surat kabar, maka sampai tahun 1897 gambar yang dimuat masih saja dibuat dari cukilan kayu. Baru 21 januari 1897 koran
”Tribune”
New York benar-benar memuat foto di dalamnya. Ini dimungkinkan berkat
ditemukan sistem penggunaan titik-titik (dots) yang kita kenal sekarang
dengan sebutan
’raster’ untuk membuat nada-nada warna
’halftones’ tadi.
- Foto Jurnalistik Yang Menarik
Sejak itulah pemuatan gambar di surat kabar menjadi semakin tambah
banyak dan mulailah redaksi mempertimbangkan perlunya mangadakan tugas
khusus bagi wartawannya hanya untuk pekerjaan memotret saja, artinya
hanya mencari gambar melulu. Spesialisasi mulai diberlakukan di dunia
persuratkabaran maju. Sesudah ada spesialisasi itu , maka para pakar
atau jurnalis mulai memerhatikan apa sebenarnya yang sangat menarik dari
sebuah foto yang patut untuk dimuat di surat kabar.
Dari hasil pengamatan mereka, disimpulkan bahwa gambar/foto
jurnalistik yang menarik itu harus mempunyai tiga aspek utama : daya
tarik visual (
eye catching), isi atau arti (
meaning) dan daya tarik emosional (
impact).
Namanya saja foto berita maka norma-norma atau nilai-nilai yang
disandang suatu berita (tulis) yang menarikpun juga dituntut bagi sebuah
newsphoto; seperti faktor-faktor yang menambah nilai/bobot foto tersebut, antara lain : sifatnya menarik (
interesting), lain dari biasanya (
different), satu-satunya (
exlusive), peristiwanya dekat dengan pembaca (
close to the readers), akibatnya luas, mengandung ketegangan (
suspense) dan menyangkut masalah sex, humor, konflik dll.
Dari batasan-batasan foto jurnalistik itulah maka kemudian para
jurnalis foto memfokuskan perhatinnya pada hal-hal yang tersirat di
dalam kriteria itu. Untuk menjadikan diri sebagai jurnalis foto
profesional maka seorang wartawan perlu memerhatikan hal-hal tersebut,
disamping mesti memperdalam pengetahuan dan memperbanyak pengalaman.
Seorang wartawan foto dituntut tahu benar tentang kamera dan proses
fotografi, tahu pula memanfaatkan kesempatan yang baik untuk kameranya
serta harus cekatan agar tidak tertinggal oleh peristiwa. Wartawan foto
mesti mampu mengkombinasikan kerja mata, otak dan hati dalam tugasnya.
Sebagaimana tujuan surat kabar yaitu memberikan kepada pembacanya
informasi, edukasi,
entertaintment dan (bisa) persuasi, maka
bidang cakupan wartawan foto sangatlah tidak terbatas. Apa saja yang
bisa memenuhi salah satu saja dari keempat kriteria tersebut dapat
disajikan. Jadi dalam hal ini si wartawan-lah yang memegang peranan
penting. Ada ungkapan
’the singer is not the song’ atau
’the man behind the gun’.
Bukan objek fotonya yang menarik tapi bagaimana kemampuan si wartawan
mengungkapkan dalam foto. Bukan kameranya yang hebat, tapi bagaimana
kepiawaian sang wartawan foto menghasilkan gambar yang memenuhi banyak
kriteria tersebut di atas.
- Kategori dan Bidang-bidang Foto Jurnalistik
Kategori Foto jurnalistik meliputi :Spot News, Feature, General News,
Tokoh, Keseharian, Seni budaya dan Fashion, Alam dan Lingkungan, IPTEK,
dan Olahraga.Sedangkan bidang-bidang yan ada dlam foto jurnalistik di
antaranya adalah : War Correspondent ( Wartawan Perang ), Wartawan Foto
Olah raga, Glamour dan Pin –Up Fotografi, Fashion Fotografer, wartawan
Foto Majalah, General Interest.
- Makna dan Peranan Foto Jurnalistik
Ruang lingkup foto jurnalistik adalah manusia, dan karena itu
kehadiran foto jurnalistik memiliki beberapa makna yang berperan dalam
kehidupan manusia, diantaranya yaitu : foto jurnalistik sebagai saksi
mata, fotografi jurnalistik sebagai lambang, foto jurnalistik sebagai
himbauan dan foto jurnalistik sebagai komentar sosial.
- Tokoh –Tokoh Foto Jurnalistik
Tokoh-tokoh dunia di bidang foto jurnalistik antara lain : Edward
Steichen, Alfred Stieglitz, Alfred Eisenstaedt, Henry Cartier Bresson,
Eugene Smith, Andre Friedman, Carl Mydans, Eliot Elisofon, John Dominis,
Ernst Haas, Co Rentmeester, Mike Wells, dan David Burnet.
- Perbedaan Foto Jurnalistik dengan Foto Dokumentasi
Kehadiran foto jurnalistik tak lain merupakan wujud dan perkembangan
foto dokumentasi, oleh karena itu foto dokumentasi merupakan dasar dari
foto jurnalistik yang ada pada saat ini. Foto dokumentasi adalah sebutan
untuk foto berita dan foto sejarah, karena tujuannya merekam suatu
peristiwa untuk disimpan bergantung pada urgensitas peristiwa dan
subjek foto yang diabadikan.
Antara foto jurnlistik dengan foto dokumentasi memiliki perbedaan dan
batasan yang sangat tipis. Nilai berita pada sebuah foto biasanya
terletak pada sejauh mana foto itu dapat menggugah perhatian dari
khalayak umum, bukan hanya orang atau kelomppok masyarakatyang
bersngkutan. Nilai tersebut bisa disebut sebagai publik interest, maka
semakin tinggi nilai beritanya. Foto jurnalsitik memiliki nilai berita
yang sangat tinggi karena dapatr menmbiu[ulkan perhatian perasaan bahkan
reaksi tertentu pada semua khalyak umum secara luas.
Berbeda pada foto dokumentasi, arti kata dokumentasi mengandung
konotasi yang lunak dalam hal nilai beritanya. Selain perbedaan, di
antaranya foto jurnalistik dan foto dokumentasi memiliki persamaan yaitu
dari segi tujuan foto terserbut. Tujuan kedua foto jurnalistik dan foto
dokumentasi merekam suatu peristiwa untuk disimpan sebagai arsip.
Menurut Hermanus Priatna ( Editor Foto di Biro Foto LKBN Antar 0
menyatakan bahwa foto jurnalistik dan foto dokumentasi memiliki
perbedaan. Pada foto jurnalistik, peristiwa diabadikan untuk
secepat-cepatnya disampaikan kepada khalayak melalui mdia massa,
sedangkan foto dokumentasi mengabadikan peristiwa untuk kepentingan
pribadi, misalnya foto-foto untuk keperluan isntansi pemerintah atau
individual.
- Petunjuk Praktis
Untuk wartawan foto atau calon, Kenneth Blume, seorang wartawan foto dan penulis pada harian
‘Courier-Crecent’ (Ohio, AS) memberi penegasan, bahwa gambar yang baik pada surat kabar adalah yang
segera menarik perhatian pembacanya. Berdasar pengalamannya dia memberikan petunjuk praktis bagaimana sebaiknya membuat foto berita itu.
- Usahakan tidak menampilkan lebih dari lima orang dalam satu gambar.
- Biarkan gambar kelihatan natural (alami/apa adanya), jangan dibuat-buat atau direkayasa.
- Lebih baik menghabiskan banyak frame untuk memungkinkan banyak pilihan dari pada tidak mendapat gambar yang baik.
- Usahakan tidak memuat gambar ”police line up” (beberapa orang disejajarkan menghadap lensa dengan latar belakang tembok kosong).
- Gunakan background atau latar keliling untuk menambah daya tarik dan memudahkan pembaca mengenal lokasi atau posisi kejadian.
- Untuk menamba variasi atau daya tarik lain, bisa memotret dengan gaya ’frog eyes’ atau ’bird view’.
- Gunakan penerangan alami atau bounced flashlight (sinar blitz yang dipantulkan ke langit-langit). Kalau bisa hindari penggunaan lampu kilat langsung.
- Usahakan untuk menunjukkan situasi beritanya, kalau mungkin.
Namun sukses surat kabar dalam menyajikan gambar lebih banyak bergantung kepada editor fotonya yang memberi perintah (
assignment) kepada fotografer dan memilih foto-foto yang masuk di mejanya, dan melakukan
cropping kalau perlu.